April 20, 2025

Dhbox : Ragam Invoasi Teknologi Digital

Inovasi yang dihasilkan dari setiap produk digital tentu akan sangat membawa perubahan besar.

Bagaimana Media Digital Membentuk Persepsi tentang Kecantikan?!!!

Di era serba digital seperti sekarang, standar kecantikan tidak lagi terbentuk secara alami melalui interaksi sosial langsung. Media digital dalam bentuk iklan, video, foto, influencer, hingga filter di media sosial—telah menjadi aktor utama dalam membentuk, membingkai, dan bahkan memaksakan persepsi masyarakat tentang apa itu “cantik”.

Namun, pertanyaannya adalah: apakah persepsi ini realistis, sehat, dan inklusif? Atau justru menjadi tekanan sosial yang membuat banyak orang merasa tidak cukup? Mari kita bahas lebih dalam tentang bagaimana media digital menciptakan gambaran kecantikan yang seringkali semu.

Evolusi Kecantikan: Dari Majalah ke Instagram

Sebelum era digital, standar kecantikan didominasi oleh industri mode dan iklan—majalah, televisi, dan billboard mempromosikan tipe tubuh tertentu, warna kulit, hingga gaya hidup “ideal”. Namun, dengan kehadiran media digital, terutama media sosial, standar ini berubah bentuk: lebih cepat, lebih personal, tapi juga lebih kompleks.

Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube menghadirkan wajah-wajah baru—selebriti internet, influencer, beauty vlogger—yang menjadi referensi utama dalam menentukan “tren kecantikan”. Sayangnya, meskipun terasa lebih dekat dan realistis, konten-konten ini tetap sering dipoles dengan filter, aplikasi edit foto, dan pencitraan yang terencana.

Peran Media Digital dalam Menciptakan Standar Kecantikan

1. Filter dan Aplikasi Pengedit Wajah

Snapchat, Instagram, TikTok, dan berbagai aplikasi editing seperti FaceTune atau Meitu memungkinkan pengguna memodifikasi wajah dan tubuh secara instan: memutihkan kulit, memperbesar mata, menghilangkan jerawat, hingga membuat wajah tampak tirus.

Akibatnya, banyak orang membandingkan diri dengan versi “ideal” yang sebenarnya tidak nyata. Kondisi ini memicu fenomena yang disebut “dysmorphia digital”, di mana seseorang tidak lagi puas dengan penampilannya di dunia nyata karena terlalu terbiasa melihat wajah versi “filtered”.

2. Influencer dan Pencitraan Sempurna

Para influencer kecantikan sering menampilkan kehidupan yang terlihat sempurna—kulit mulus, tubuh langsing, gaya hidup glamor—yang bisa membentuk anggapan bahwa inilah definisi “cantik” yang harus dikejar. Bahkan, tren seperti “body goals” atau “glass skin” mendorong standar kecantikan yang nyaris mustahil dicapai oleh kebanyakan orang.

Ironisnya, banyak dari mereka juga menggunakan pencahayaan profesional, makeup tebal, atau bahkan operasi plastik—namun tidak semuanya secara terbuka mengakui hal itu.

3. Konten Viral dan Tren Kecantikan yang Sementara

Media digital menciptakan tren kecantikan yang sangat cepat berubah—dari “alis tebal natural” ke “fox eye look”, dari “BBL body” ke “slim thick”—semua berlomba-lomba menjadi viral. Akibatnya, persepsi kecantikan menjadi tidak stabil dan semakin sulit diraih, karena standar berubah secepat tren TikTok.

Dampak Sosial dan Psikologis

Pengaruh media digital terhadap persepsi kecantikan memiliki dampak nyata, terutama pada anak muda:

  • Rendahnya rasa percaya diri
    Banyak remaja merasa penampilan mereka tidak cukup baik karena tidak sesuai dengan apa yang mereka lihat di media sosial.
  • Gangguan citra tubuh (body image issue)
    Terlalu fokus pada bentuk tubuh tertentu bisa menyebabkan gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia.
  • Kecemasan sosial
    Ada tekanan untuk selalu terlihat menarik di media sosial, bahkan saat sedang tidak ingin tampil atau merasa lelah secara emosional.
  • Normalisasi bedah plastik
    Operasi kosmetik menjadi hal biasa di kalangan muda, bahkan dianggap sebagai “perawatan dasar”, bukan tindakan medis serius.

Bagaimana Kita Bisa Melawan Narasi Kecantikan yang Sempit?

1. Edukasi Media Literasi Digital

Mengajarkan masyarakat, terutama anak muda, untuk memahami bahwa banyak konten visual di media sosial telah mengalami manipulasi. Menyadari bahwa apa yang terlihat di layar bukan realita, adalah langkah awal untuk membangun hubungan yang lebih sehat dengan tubuh sendiri.

2. Mempromosikan Keragaman dan Inklusivitas

Semakin banyak brand, influencer, dan kampanye yang mulai menunjukkan wajah-wajah dengan berbagai warna kulit, bentuk tubuh, kondisi kulit (seperti vitiligo, jerawat, bekas luka), dan keunikan lainnya. Ini adalah langkah penting untuk menormalisasi kecantikan yang beragam dan tidak homogen.

3. Mendukung Gerakan Body Positivity dan Self-love

Gerakan ini mendorong orang untuk menerima dan mencintai tubuh mereka apa adanya. Banyak aktivis digital yang secara terbuka menolak filter, menampilkan tubuh asli mereka, dan membagikan perjuangan melawan standar kecantikan toksik.

4. Kurasi Konten yang Sehat

Kita bisa mulai dengan mengikuti akun yang menyebarkan energi positif, membagikan kisah inspiratif, atau mendukung keaslian, daripada akun yang hanya fokus pada estetika tanpa makna. Media sosial harus menjadi ruang aman, bukan sumber tekanan.

Kesimpulan

Media digital, dengan semua kekuatannya, telah membentuk ulang cara kita memandang kecantikan—bukan hanya sebagai soal penampilan, tetapi juga sebagai identitas dan eksistensi. Namun, di balik kilau dan filter itu, penting untuk selalu bertanya: Apakah standar kecantikan ini membuat kita merasa lebih percaya diri, atau justru merasa kurang?

Baca Juga : 

Kecantikan seharusnya tidak ditentukan oleh algoritma atau jumlah likes, tapi oleh bagaimana kita menerima diri sendiri, merawat tubuh dengan cinta, dan melihat keunikan sebagai nilai, bukan kekurangan. Karena sejatinya, setiap orang cantik dengan cara mereka masing-masing—tanpa harus sesuai dengan tren yang berubah-ubah.

Share: Facebook Twitter Linkedin

Comments are closed.